STUDI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN ISLAM:
TANTANGAN DAN
HARAPAN MENJAWAB TUJUAN PENDIDIKAN
DI ERA GLOBAL
Oleh:
Ahmad Muzakki (NPM. 1000031)
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro
Pendahuluan
Dalam sejarah yang tercatat, lika-liku perjalanan
Pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pasangsurutnya
sistem Pendidikan Nasional yang ada. Sebagaimana tidak terlepasnya umat Islam
ketika membicarakan nasib bangsa ini, dan bahkan Pendidikan Islam mempunyai
sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidupan bangsa ini baik
masa pra penjajahan bahkan pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
yang nota bane mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnya Pendidikan
Islam mampu mendasari pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona
bagi peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Paling tidak, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, Pendidikan Islam dapat
dijadikan tolok ukur dalam
membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (Nation
Character Building).1
Hemat penulis, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah,
maupun para pakar pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan tak terkecuali
Pendidikan Islam sudah sejak lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat
ini terdapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan
masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan tidak komprehensif. Sehingga wajar
apabila out-put peserta didik yang nota bane-nya Pendidikan Islam
kurang memberikan hasil yang maksimal baik terhadap peserta didik, orang tua,
maupun masyarakat. Kita merasakan dan mengetahui bahwa Pendidikan Islam di
Indonesia dewasa ini, dinilai hanya mampu memenuhi aspek normatif semata dan
“tidak atau belum sanggup” mewujudkan apa yang selama ini diharapkan.
Dengan kata lain, pendidikan Islam juga memiliki
kelemahan–kelemahan prinsipil untuk bisa berperan secara pasti dalam
memberdayakan komunitas muslim di negeri ini. Untuk
saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukan adanya perencanaan
strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan, sasaran, metode, program dan
kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai perencanaan jangka panjang untuk menjawab
tantangan eksternal yang semakin dinamis dan kompleks. Di sinilah diperlukan
analisis kekuatan, kelemahan (faktor internal), peluang serta ancaman (faktor
eksternal). Akhirnya
akan diketahui dimana posisi sekolah, mau ke mana sekolah dan apa masalah
krusial yang dihadapi, lalu dibuat perencanaan strategis menjangkau masa depan
yang lebih baik.2
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin mengkaji tantangan
dan harapan pendidikan Islam yang ada di negara kita, yang nota bene-nya
memiliki komunitas muslim terbesar.
Munculnya kebijakan Pendidikan: antara Efektivitas dan
Tendensius
Munculnya kebijakan pendidikan di Indonesia, baik untuk
kebijakan pendidikan nasional maupun kebijakan pendidikan Islam sebagai sub
sistemnya ditengarai menjadi persoalan tersendiri. Selama ini munculnya kebijakan
pendidikan terkesan sebagai perpanjangan tangan dari pemimpin yang sedang
berkuasa. Dan tak heran sering kita jumpai, jika terjadi pergantian pemimpin,
berganti pula kebijakan pendidikanya. Hal ini menimbulkan wacana bahwa kebijakan
itu di rumuskan tanpa adanya riset dan penelaahan yang lebih mendalam.
Idealnya, sebuah kebijakan dilakukan atau dieksplorasi dari berbagai
alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha
untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu
seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Selain itu, dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan, yaitu dari ranah
konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kehampaan,
melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan
dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan
terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Selanjutnya,
dalam tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan
aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program
sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Sedangkan pada tataran penghentian atau perubahan kebijakan dilakukan
penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau
hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan
umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.
Berdasarkan
seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara
umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara
terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan
kebijakan lain.
Pendidikan
Islam: Antara Tantangan Dan Harapan Menjawab Tujuan Pendidikan di Era Global
Di
era persaingan global ini, trend pendidikan mulai
mengalami pergeseran orientasi yang menempatkan pembangunan manusia seutuhnya melalui pendidikan dan
latihan dengan beragam jenis, jenjang,
sifat dan bentuknya. Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya diidealisasikan menjadi
titik puncak tercapainya pendidikan
nasional yang sampai saat ini menjadi dambaan bangsa Indonesia. Sosok pribadi yang
diidolakan belum juga dihasilkan, maka
lembaga pendidikan dijadikan ekspektasi alternatif, sebagai instrumen utama proses kemanusiaan
dan pemanusiaan, yaitu menghargai
dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Penghargaan yang
demikian adalah benih yang mulai tumbuh,
dan sebagai sebuah proses kebebasan terus-menerus diperjuangkan.3
Pertanyaan kita adalah, bagaimana mungkin kita bisa
menjadi manusia yang sesungguhnya, kalau dalam realitasnya memang pendidikan
Islam sebagai subsistem dinilai masih kering dari aspek pedagogis, dan lebih mekanistik
dalam menjalankan fungsinya sehingga terkesan hanya akan melahirkan peserta
didik yang “kerdil” karena tidak memiliki dunianya sendiri. Menurut Ma’arif,
konsep pendidikan telah dipaksa untuk menuruti konsep development-kapitalis yang
terelaborasi sedemikian rupa, demi memenuhi kebutuhan industrialisasi, sehingga
pendidikan yang seharusnya menjadi media pemberdayaan malah menjadi sarana
pembodohan yang sistematis, penciptaan robot-robot intelektual yang terprogram
secara maraton dan monoton.4
Dewasa ini, pendidikan Islam benar-benar telah menjadi
salah satu “barang antik” yang mahal harganya. Menurut Fadjar dalam Rahardjo,
kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam
sebenarnya bukan kerena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya
yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam
yang ada kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan
permintaan saat ini maupun mendatang.5 Padahal, paling tidak ada
tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan,
yaitu nilai (agama), status sosial dan cita-cita. Masyarakat yang terpelajar
akan semakin beragam pertimbangannya dalam memilih pendidikan bagi
anak-anaknya.
Fenomena yang berkembang tersebut menjadi dalih bagi para
orang tua dalam memilihkan lembaga pendidikan untuk menyekolahkan anak-anaknya
pun sangat rasional dan mempertimbangkan prospektif ke depan. Mereka yang
berpeluang memilih, akan menentukan pilihan kepada lembaga pendidikan yang
dipandangnya ideal. Lembaga pendidikan yang dipandang ideal itu adalah lembaga
yang mampu mengembangkan potensi spiritual dan akhlak para peserta didik, yang
mampu mengembangkan aspek intelektual serta lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan
potensi sosial maupun keterampilan peserta didiknya.
Lembaga pendidikan keagamaan, diantaranya lembaga
pendidikan Islam sedikit banyaknya telah merespon tuntutan masyarakat seperti
itu dengan memunculkan lembaga pendidikan integratif, atau sekolah/madrasah
terpadu, sekolah/madrasah model, atau bentuk-bentuk sekolah/madrasah unggulan lain,
yang mengedepankan kualitas.6
Dengan menggunakan term integratif diharapkan para
lulusannya meraih kedewasaan kepribadian secara utuh, yaitu dewasa spiritual,
dewasa intelektual, dewasa sosial, dan dewasa kecakapan hidupnya.
Sebagai subsistem,
pendidikan Islam mempunyai tujuan khusus yang
harus dicapai. Menurut Furchan, tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian
tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi
suprasistemnya.7 Oleh sebab
itu, visi pendidikan
Islam tentunya harus
sejalan dengan visi
pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan
manusia Indonesia yang takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang
ber-Bhinneka. Sedangkan misi
pendidikan Islam sebagai perwujudan visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai
keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Adapun manusia Indonesia yang dicita-citakan
adalah manusia
yang saleh dan produktif. Hal ini sejalan dengan trend kehidupan abad 21,
agama dan intelek akan saling bertemu.8
Dengan
mengemban misi tersebut, seharusnya
pendidikan
Islam menjadi pendidikan alternatif.
Apabila pendidikan yang diselenggarakan oleh atau lembaga-lembaga swasta lainnya cenderung
untuk bersifat skuler atau memiliki ciri khas lainnya, maka pendidikan Islam
ingin mengejawantakan
nilai-nilai keislaman. Dengan ciri-ciri
yang khas, yaitu:
a) Suatu sistem pendidikan
yang didirikan karena didorong oleh hasrat untuk mengejawantahkan nilai-nilai
Islam; b) Suatu sistem yang mengajarkan ajaran Islam, dan (3)
Suatu Sistem pendidikan Islam yang
meliputi kedua hal tersebut.9
Dengan demikian, dapat lebih dipahami bahwa keberadaan
pendidikan Islam tidak sekadar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih
mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling
ideal. Tujuan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang dipikul
pendidikan Islam lebih berat lagi. Ketiganya itu selama ini tumbuh dan berkembang
di Indonesia dan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah maupun
dari kebijakan pendidikan nasional. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam
perjuangan maupun mengisi kemerdekaan.
Di Indonesia, pendidikan Islam ini tampil dalam berbagai
macam wujud, yaitu pendidikan agama Islam yang merupakan substansi dari sistem
pendidikan agama dalam kurikulum nasional, pendidikan di madrasah dan sekolah
umum Islam yang merupakan subsistem dari sistem pendidikan umum (formal),
pendidikan pesantren yang merupakan subsistem dalam pendidikan nonformal.
Kita ketahui hampir kebanyakan institusi-institusi pendidikan kita saat ini, tak
terkecuali yang berada dalam lingkungan lembaga pendidikan Islam telah memiliki
kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum mampu
memproduksi individu-individu yang beradab. Justru sebaliknya, penekanan
terhadap pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual
dan moralitas tinggi sepertinya sudah terabaikan dan jauh dari sasaran.
Saat ini, kita tengah menghadapi tantangan-tantangan
modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari
tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis
besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem
nilai yang sudahn ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh
kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah
titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah
di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun
politik.
b. Adanya dimensi besar dari kehidupan
masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan
manusia pada ilmu pengetahuan
dan informasi
sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan
keterasingan dalam dunia modern.
Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu
pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti
sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan
manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah
dalam evolusi kehidupan manusia.
Pemahaman sebagaimana di atas menuntut kepekaan terhadap
gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan baru untuk
menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan. Dengan cara seperti
itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi muslim yang
kelenturan berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam menghadapi
perubahan cara hidup.
Di Indonesia umat Islam sebagai penganut mayoritas harus
mampu menempatkan ajaran agamanya sebagai faktor komplementer, sebagai komponen
yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat dab berwarga
negara. Dengan demikian diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal (antar sektor) dan vertikal (antar
jenjang – bottom-up dan top-down planning), pendidikan harus
berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural
serta pendidikan dengan perspektif global.
Daftar Pustaka
A.
Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernisitas, Bandung: Mizan,1998.
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasisi
Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Arif
Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gema
Media, 2004.
HAR. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.
Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi &
Solusi Pembangunan Madrasah, Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007.
Mahmud
(ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Mudjia Rahardjo, (ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam
Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang:UIN
Malang Press, 2006.
Syafarudin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam,
Jakarta:Ciputat Press, 2005.
Syamsul
Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Endnotes
1Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasisi
Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.161
2 Syafarudin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam,
(Jakarta:Ciputat Press, 2005), h. 131
3 Mahmud (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 256
4 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007), h. 105
5 Mudjia Rahardjo, (ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam Pembacaan Realitas Pendidikan Isalam,
Sosial dan Keagamaan, (Malang:UIN
Malang Press, 2006), h. 11
6 Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi &
Solusi Pembangunan
Madrasah, (Yogyakarta:
Hikayat Publishing, 2007), h. 56
7Arif Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Gema Media, 2004), h. 14
8HAR.
Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2004), h. 150
9 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan
Modernisitas, (Bandung:
Mizan,1998), h. 1